Sabtu, 12 Januari 2008

Gerak, Waktu & Imaji

Gerak, waktu, dan Imaji - Gilles Deleuze Dalam Sinema
Abstrak

Deleuze menerapkan teknik montage sebagai penentu bentukan relasi antara waktu dan gerak dalam sinema. Dalam teknik montage klasik waktu menjadi subordinasi gerak (imaji-gerak) sedang dalam teknik non-klasik waktu merupakan entitas yang terpisah dari gerak (imaji-waktu). Dalam teknik yang pertama, film tidak semata sebagai potongan-potongan gambar yang diam, tetapi imaji-imaji yang secara linier bergerak seirama dengan aliran pergantian-pergantian shot. Hal ini menjadikan dunia sebagai imaji karena imaji disusun atas gerak, meski tidak secara alamiah. Di sisi lain, dalam teknik montage non-klasik tidak ada aliran linier imaji-imaji. Waktu terfragmentasi dan seolah seluruhnya menjadi ‘masa sekarang’. Gerak dan waktu yang dihasilkan bukan gerak-waktu yang sebenarnya. Di atas segalanya, prinsip-prinsip sinematografi yang dipakai Deleuze ini hendak mengafirmasi kehidupan, dan melepaskannya dari kekaburan kebenaran absolut dari pengetahuan.

Kata-kata kunci: sinema, montage, memori, imaji, gerak, waktu, logika, chrystalin.

…sungguh menggoda, melihat apakah ‘materi yang bergerak’ (moving matter) yang diperkenalkan oleh sinema akan membutuhkan sebuah pemahaman baru atas imaji-imaji dan tanda-tanda. Dalam pengertian inilah saya telah mencoba membuat sebuah buku logika, sebuah logika atas sinema. [1]

I. Pendahuluan

Melalui dua bukunya, Cinema 1, Movement-Image dan Cinema 2, Time-Image, Deleuze menyatakan gagasan filsafatnya ke dalam teori sinema. Deleuze membaginya dalam dua periode umum; pra Perang Dunia II, dan pasca Perang Dunia II. Menurutnya telah terjadi perubahan mendasar yang membedakan jenis-jenis film dalam masing-masing kelompoknya, yaitu perbedaan representasinya atas ‘waktu’. Yang pertama, imaji-gerak, merepresentasikan imaji tak langsung atas waktu. Sinema klasik (pra-PD II) telah menyempurnakan bentuk-bentuk geometri, logika atas eksposisi spatio-temporal, dan hukum-hukum atas sinema di mana kesatuan aksi dibangun melalui montage [2]. Dengan demikian, sinema hanya menghasilkan imaji-imaji yang masih dapat dipahami melalui skema sensori-motor: imaji-persepsi, imaji-afeksi dan imaji-aksi. Secara rasional setiap interval menyediakan bagian akhir dari sebuah seksi spasial dan bagian awal seksi spasial selanjutnya. Dengan demikian secara berkesinambungan terbentang ruang-ruang yang saling berdekatan/berurutan. Konsekuensinya, waktu menjadi subordinasi gerak. Waktu diukur secara dinamis sebagai sebuah proses dari aksi dan reaksi dalam ruang yang disambung secara berurutan (match cutting atau rational cutting). Dengan kata lain, waktu disajikan dalam peristiwa-peristiwa kronologis: masa lalu, masa kini, dan masa depan—seperti gerak mekanik jam.

Yang kedua, perubahan perlakuan atas sinema melalui Orson Welles (Amerika), Neo-Realisme (Italia), Gelombang Baru (New Wave, Prancis), yang membongkar hukum-hukum montage sinema klasik. Ketika kronologi dihancur-leburkan, maka waktu terfragmentasi seperti pecahan kristal, di mana masa lalu, masa depan, masa sekarang, tak dapat dikenali dan tak dapat diperbadingkan. Seluruh masa menjadi ‘masa sekarang’—the eternal present.

Bagi Deleuze, perbedaan di atas bukan merupakan kemajuan di mana yang kedua lebih baik dari yang pertama, atau yang kedua merupakan langkah maju (progress) dari yang pertama. Apa yang ditekankannya adalah bahwa yang pertama menyajikan imaji tak langsung atas waktu (imaji-gerak), di mana waktu menjadi subordinasi gerak, dan yang kedua menyajikan imaji langsung atas waktu (imaji-waktu), di mana waktu dibebaskan dari gerak. Atas dasar ini pula Deleuze menetapkan dua tipe semiotik murni: semiotik atas gerak dan semiotik atas waktu. Semiotik yang dimaksud Deleuze adalah semiotik yang berbeda pengertiannya dengan yang dipahami oleh linguistik. Oleh karena Deleuze tidak mendasarkan semiotikanya pada term-term bahasa, baginya komposisi imaji-imaji dalam sinema tidak dapat dianalogikan (dibaca) dengan term-term bahasa.

II. Imaji-Gerak (Organik)

Sinema tidak memberi kita sebuah imaji dimana gerak ditambahkan, sinema langsung memberi kita imaji-gerak. [3]

Gerak yang kita tangkap dalam sinema pada dasarnya dibentuk oleh photogrammes atau kumpulan gambar ‘instan’ (diam) yang diambil dalam jarak yang sama jauhnya dalam kecepatan 24 frame-per-detik (a function of equidistant any-instant-whatevers). Tetapi imaji yang muncul bukan imaji diam yang digerakkan melainkan serta merta imaji-gerak. Konsep ini sejalan dengan Henry Bergson, yang melawankan ‘gerak nyata + durasi konkret’ dengan ‘seksi tak bergerak (immobile sections) + gerak abstrak’. Gerak nyata dalam kehidupan sehari-hari terus berlangsung, tak dapat dibagi-bagi atau dihentikan sehingga dengan demikian tak ada cara untuk di-rekonstitusikan. Sementara itu dalam sinema yang kita peroleh adalah gerak ‘palsu’ (false movement) tetapi diterima oleh yang melihat sebagai sesuatu yang tidak artifisial. Atas dasar itu Deleuze melihat, elemen-elemen material yang imanen dalam sinema bukan sebagai ‘yang tak bergerak’ (immobile), tetapi sesuatu yang bergerak (mobile), untuk kemudian menciptakan imaji-gerak.

Secara lebih luas Deleuze memposisikan gerak sebagai seksi yang bergerak (mobile sections) dari durasi, yang berarti dari Keseluruhan atau dari sebuah keseluruhan. Gerak merupakan translasi di dalam ruang, mengekspresikan sebuah perubahan atas durasi [4] : jika kita memasukkan segumpal gula dalam segela air, akan terdapat transisi antara segelas air + segumpal gula menjadi ‘air gula’, dengan demikian terjadi sebuah perubahan kualitatif dalam keseluruhan. ‘Gerak menghubungkan objek-objek sebuah sistem tertutup pada durasi yang terbuka, dan menghubungkan durasi pada objek-objek sistem tertutup, durasi memaksa sistem tertutup itu untuk membuka’. [5]

II.1. Identitas Imaji dan Gerak

Berbeda dengan seni-seni lain, melalui dunia menciptakan sesuatu yang tak nyata, sinema membuat dunia itu sendiri sesuatu yang tak nyata. Sinema dengan kebebasannya membawa kita untuk dekat dengan benda-benda atau menjauhkannya sekaligus. Sinema ‘memberangus’ pusat keterpakuan subjek sekaligus batas-batas pandang dunia (horison). Dunia menjadi imaji, bukan imaji menjadi dunia. [6] Dengan demikian sinema menciptakan suatu wilayah persepsi yang berbeda dengan persepsi alamiah (natural perception; Gestalt, Fenomenologi). Kita dihadapkan pada eksposisi atas sebuah dunia di mana IMAJI=GERAK. Setiap imaji semata-mata sebuah jalan lintas ke segala arah, modifikasi yang disebarkan keseluruh keluasan semesta. Setiap imaji beraksi dan bereaksi sekaligus, pada seluruh segi, melalui seluruh elemen-elemennya –aksi dan reaksi tak dapat dibedakan.[7]

Ketakterbatasan kumpulan dari seluruh imaji ini mengkonstitusikan semacam bidang imanensi (plane of immanence). Pada bidang ini imaji hadir dalam dirinya sendiri. Di dalam dirinya sendiri inilah imaji merupakan materi; bukan sesuatu yang tersembunyi di baliknya, melainkan secara berlawanan merupakan identitas absolut atas imaji dan gerak.

Bidang imanensi ini seluruhnya disusun dari Cahaya. Kumpulan gerak dari aksi-aksi dan reaksi-reaksi adalah cahaya yang menyebar, yang disebarkan ‘tanpa perlawanan dan kehilangan’–menyebar begitu saja. Identitas dari imaji dan gerak berasal dari identitas materi dan cahaya. Imaji adalah gerak sebagaimana materi adalah cahaya.[8] Di dalam imaji-gerak belum terdapat tubuh-tubuh atau garis-garis kaku melainkan hanya garis-garis atau gambaran-gambaran cahaya, blok-blok ruang-waktu. Ini adalah untuk mengatakan bahwa benda-benda itu luminous oleh dirinya sendiri tanpa apapun yang meneranginya. Benda-benda menampakkan dirinya semata-mata bukan karena intensionalitas kesadaran. Sebab Kesadaran di sini bukanlah kesadaran atas sesuatu. Kesadaran adalah sesuatu. Kesadaran imanen di dalam materi.

Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa bidang imanensi atau bidang materi merupakan sebuah kumpulan imaji-gerak: kumpulan garis-garis atau gambaran cahaya, yaitu sebuah seri blok-blok ruang-waktu (a series of blocs of space-time).

II.2. Interval

Interval merupakan sebuah figur temporal yang mencegah gerak, menghasilkan celah antara aksi dan reaksi. Interval menghasilkan imaji dengan dua sisi, satu sisi reseptif, permukaan sensorial yang menyaring stimulus, mengabaikan pengaruh-pengaruh eksternal yang tidak relevan (memisahkan). Pemisahan ini mengimplikasikan sebuah penundaan, di mana aksi dihambat untuk memperoleh respon yang memadai (persepsi). Konsekuensinya reaksi dieksekusi pada sisi lain dan tidak menjadi perpanjangan sederhana dari gerak-gerak eksternal. Pemisahan ini mentransformasikan gerak-gerak eksternal, memproduksi sesuatu yang baru.

Interval menunda reaksi, memberi waktu untuk memilih, mengorganisasi, dan mengintegrasikan informasi yang diingat, menghasilkan gerak baru dalam respon. Dengan demikian fundamen kesadaran manusia dikonstitusikan oleh interval, yang mendorong aksi-aksi. Pada satu sisi menghasilkan sebuah instrumen analisa dalam kaitan dengan gerak yang diterima (perseptif). Pada sisi yang lain menghasilkan instrumen seleksi dalam kaitan dengan gerak yang dieksekusi (aktif). Dua sisi ini menjadikan subyektivitas sebagai sebuah imaji khusus atau pusat kontingen.

II.3. Tiga Tipe Imaji-gerak (Organik)

Terdapat tiga tipe imaji-gerak, yang dikonsolidasikan oleh subyektivitas sebagai pusat kontingen (momen material dari subyektivitas); imaji-persepsi dan imaji-aksi yang terdapat dalam sisi-sisi interval, dan imaji-afeksi yang mendiami interval. Masing-masing imaji ini merupakan titik pandang atas keseluruhan film, sebuah cara untuk ‘merenggut’ keseluruhan. Imaji menjadi afektif dalam jarak dekat (close-up), aktif dalam jarak sedang (medium-shot), dan perseptif dalam jarak jauh (long-shot). Masing-masing pengambilan gambar (shot) membuat keseluruhan film dapat ‘dibaca’.[9]

a. Imaji-Persepsi : memiliki dua aspek, ‘obyektif’ dan subyektif, langsung dan tak langsung. Pada saat kamera mewakili mata penonton untuk memperlihatkan imaji-imaji, maka disebut ojektif. Pada saat kamera mewakili mata salah satu karakter itu akan menjadi subyektif: persepsi atas persepsi.

b. Imaji-Afeksi : berkaitan dengan imaji-imaji yang ditampilkan dalam jarak dekat. Imaji yang ditampilkan dalam jarak dekat akan menjadi sama pentingnya dengan wajah, memberi pengaruh dan menyatakan itu penting.

c. Imaji-Aksi : mendefinisikan sebuah struktur pada umumnya, berkaitan langsung dengan skema sensori-motor. Menjadi tempat yang familiar untuk menentukan ruang-waktu geografi, sejarah dan sosial, atas realisme, tingkah laku dan lingkungan (milieux) yang memaksa seorang karakter bertindak untuk memodifikasi lingkungannya, atau relasinya dengan sekitarnya, bersama karakter lainnya.[10]

Dengan demikian imaji-gerak telah memberikan imaji tak langsung atas waktu, waktu dalam bentuk empirisnya, berasal dari pergantian-pergantian shot; melalui montage menghubungkan waktu kembali pada progresi pergantian-pergantian shot, yang membuat waktu tak dapat direpresentasikan secara langsung.

III. Imaji-Waktu

…Imaji baru ini, mutasi baru atas sinema ini, berupaya keras untuk ‘dipikirkan dan memikirkan’ secara sungguh-sungguh, bahkan ketika hal ini menjadi lebih sulit untuk dilakukan’. [11]

Deleuze tidak menawarkan sebuah definisi tunggal atas imaji-waktu, atau sebuah indikasi yang jelas atas apa yang disebutnya ‘imaji langsung atas waktu’. Meskipun demikian kita masih dapat mengikuti deskripsinya berdasarkan butir-butir, pandangan-pandangan parsial dan deskripsi metafor yang dinyatakannya. Intinya adalah, pada saat sinema tidak lagi menjadi ‘pelayan’ cerita/naratif, maka akan terjadi banyak kejutan. Pergantian imaji-imaji tidak lagi dapat diduga, tidak kronologis, ‘irrational cutting’. Jika dalam imaji-gerak, imaji-imaji yang tersusun secara linier mengesankan semacam realitas yang pre-exist, maka dalam imaji-waktu, realitas itu hadir atau pernah hadir dalam lembaran-lembaran masa lalu yang entah kapan dan entah di mana. Sebuah peristiwa tunggal dapat memiliki beberapa tingkatan; lembaran-lembaran masa lalu turut hadir (coexist) di dalam sebuah keteraturan yang tidak kronologis.[12]

III.1. Kesatuan Imaji, Pikiran, dan Kamera (sinematik)

‘Sebuah kesadaran-kamera (Camera-consciousness) tidak lagi didefinisikan melalui gerak-gerak yang dapat menciptakan (kesadaran) itu, tetapi, melalui hubungan mental yang memungkinkan kamera untuk masuk kedalam (kesadaran). Dan menjadikannya mempertanyakan, merespon, mengobyekan, memprovokasi, menteoritisasi, mencipta hipotesa, di dalam kaitan dengan daftar terbuka atas konjungsi logis (‘atau’, ‘oleh karenanya’, ‘jika’, ‘sebab’, ‘meskipun’….). [13]

Apa yang dimaksud Deleuze di sini adalah sebuah imaji yang memiliki kemungkinan untuk dibaca, sebuah imaji pikiran yang mungkin ditempatkan pada saat kamera bergerak dan bekerja secara autonomus, berupaya keras untuk mengekspresikan konjungsi logis, sebagai konsekuensi, intensi, dan seterusnya, dan tidak lagi hanya mengukur tonalitas, ritme dan harmoni, sebagaimana yang terjadi dalam imaji-gerak.

III.2. Sekarang Selamanya

Sekarang-seketika (immediate-now) kehadiran sinema menjadi hal yang sempurna bagi bentuk imaji-rekoleksi (kumpulan imaji—telah ada dalam memori dunia—yang dipanggil kembali; recollection-image)[14] seperti halnya pada saat sekarang kita membuat sebuah memori, untuk tujuan menggunakannya di masa depan ketika masa sekarang akan menjadi masa lalu.

Menurut Deleuze, terdapat dua tipe dari imaji-waktu, yang satu didasarkan pada masa lalu dan yang lain pada masa sekarang. Disini masa lalu dijaga dalam waktu dan tidak akan dapat dilihat sebagai imaji-rekoleksi jika tidak diaktualisasikan.[15] Hal itu merupakan elemen virtual dimana kita harus menukik kedalamnya untuk dapat melihat ‘rekoleksi murni’ yang akan menjadi aktual di dalam imaji-rekoleksi.[16] Di sini Deleuze memberikan gambaran sinematik dari filsafatnya sendiri, membuat sebuah pengandaian bahwa kita memiliki sebuah memori (menyimpulkan padangan Bergson; …kita tidak bergerak dari masa sekarang ke masa lalu, atau dari persepsi menuju rekoleksi, melainkan sebaliknya)[17]; ‘Memori tidak ada di dalam kita; kitalah yang bergerak dalam memori-Ada, memori-dunia.[18]

Kemudian melalui ekstrapolasi Deleuze berargumen bahwa, di dalam sinema terdapat lingkaran-lingkaran, atau lembaran-lembaran masa lalu yang turut hadir di antara masa lalu dan masa sekarang, masing-masing lembaran memiliki karakteristik, aksen-aksen (peaks of view, levels), aspek-aspek (regions, layers): ‘titik-titik kecemerlangan dan tema-tema dominannya sendiri’; [19] misalnya masa kanak-kanak, kematian ibu, masa remaja, masa dewasa, kesakitan, dll. Sinema dapat menempatkan kita pada masa lalu, dan memilih salah satu dari lembaran-lembaran tersebut. Masa lalu, masa kini dan masa depan bukan lagi perwujudan dari pergantian, tetapi telah diimplikasikan secara simultan. Masing-masing lembaran dapat dikontradiksikan, dilenyapkan, disubstitusikan, dipercabangkan, dan dikembalikan. Di sini, di puncak masa sekarang, imaji-waktu menunjukkan kekuatannya untuk mendesak sesuatu yang tak terlukiskan menjadi aktual, menjadi jelas.

Terdapat problem ontologis untuk menjadikan imaji-rekoleksi ini aktual. Deleuze mengandaikan dalam kaitan ini terdapat persyaratan-persyaratan untuk dapat masuk ke dalam tingkatan-tingkatan (levels) atau region-region memori-dunia; “Memori, dipenuhi oleh seluruh muatan masa lalu, menjawab seruan dari keadaan masa sekarang dengan dua gerak simultan, yang satu melalui translasi, yang menggerakkannya masuk ke dalam, atau bertemu dengan keseluruhan pengalaman masa sekarang, dengan demikian kurang lebih ‘mengerutkan’ (kontraksi), meskipun tanpa memisahkan dengan sebuah pandangan untuk bertindak; yang lainnya adalah rotasi pada dirinya sendiri (orientasi memori), yang melaluinya masa lalu berubah menjadi situasi dari masa sekarang….[20]

III.3. Imaji-Kristal (Non-Organik)

Dari imaji-gerak telah dihasilkan rezim[21] imaji organik. Sementara imaji-waktu menghasilkan suatu rezim baru yaitu Crystalline atau non organik. Deskripsi dari Crystalline, melingkupi puncak-puncak de-aktualisasi atas masa sekarang dan lembaran-lembaran masa lalu, berdiri bagi objek-objeknya, menggantikannya, mencipta dan menghapusnya sekaligus.[22] Salah satunya dapat kita lihat pada saat kamera mensketsa ruang kejadian, juga ketika digerakan, melacak kemungkinan sudut pandang yang berbeda untuk memperlihatkan ruang kejadian, atau melalui kemampuan teknis lainnya. Sebuah imaji-kristal atas orang tidak sekedar memperlihatkan mereka dalam aksi, tetapi membawa serta ‘primordial genesis’ atas mereka dalam term-term sebuah warna hitam, putih atau abu-abu atau warna apapun.[23]

Di dalam imaji-kristal, imaji aktual dan imaji virtual menjadi satu keseluruhan bentuk yang tak terpisahkan. Bentuk ini berkembang ke dalam narasi kristal (crystalline narration) dari situasi-situasi yang murni ‘optik dan suara’ (penghancuran referensi), mengambil alih peran montage sensori-motor, dan pada bagian di mana gerak menjadi ‘nol’ dan tak putus-putus, semacam gerak anomali yang menjadi titik esensial dari aksiden atau kontingen.[24] Ini merupakan bagian dari skema imaji-waktu, dari mana gerak berasal, yang kemudian ‘gerak yang bukan sebenarnya’ (false movement) dihasilkan oleh imaji-waktu langsung, dan dengan demikian bukan waktu kronologis (gerak menjadi setara dengan waktu, waktu ‘tipuan’ [false] atau gerak abnormal). Kekuatan dari ‘yang bukan sebenarnya’ (false) inilah yang menjadi gaya sinema baru. (Pada bagian ini memang harus ditunjukkan dalam contoh-contoh film dari; Jean-luc Godard, Alan Resnais, Passolini, dll.). Bagi Deleuze rezim baru ini bekerja untuk mengakhiri prasangka atas realitas, menghentikan narasi (cerita) yang secara kabur bertujuan untuk merujuk pada suatu kebenaran, (telah diperbaharui oleh gerakkan neo-realisme Itali) kemudian menggantikannya dengan ‘kekuatan-kekuatan kehidupan’ (sinematografik). Bahkan semiotikpun tak akan dapat menjelaskan neo-narasi atas dibebaskannya waktu, sebagaimana tak terdapat narasi yang diberikan oleh imaji-imaji. Tipe-tipe yang dapat dipersepsi tak dapat digantikan oleh proses-proses bahasa.[25] Dalam kaitannya dengan tanda, Deleuze lebih merujuk pada logika, di mana tanda diklasifikasikan, dan pekerjaan ini merupakan pekerjaan tanpa akhir (taxonomy: klasifikasi atas klasifikasi)[26].

III.4. Sinema dan Pemikiran

Sinema seharusnya tidak hanya memfilmkan dunia (sempit), melainkan berkeyakinan dalam dunia (luas); sebagaimana dalam filsafat, kita harus melepaskan upaya-upaya kita untuk menemukan kebenaran absolut, dan ‘mengganti’ model pengetahuan dengan keyakinan.[27]

Mengembangkan konsep-konsep imaji/pikiran, Deleuze menemukan kedalaman. Dalam beberapa film (Jean Renoir, Orson Welles, Godard, Pasolini) terdapat bukan semata-mata metafor-metafor figuratif, melainkan lebih dari pada itu, mata rantai imaji-imaji bekerja seperti sebuah teorema, menjadikan pikiran imanen pada apa yang terlihat. Pada bagian ini lebih menjelaskan perbedaan dari imaji-gerak. Seperti dalam dua film Pier Paolo Pasolini (Theorem dan Salo) yang bercita-cita untuk menentukan jalan pikirannya sendiri (dalam logika film tersebut) membawa imaji pada titik di mana imaji menjadi deduktif dan otomatik, mensubstitusi keterkaitan figuratif sensori-motor dengan keterkaitan formal pikiran (menciptakan transgresi, ‘menghancurkan’ skema sensori-motor). Adalah mungkin bagi sinema untuk mencapai kekakuan matematis dengan jalan ini, sebuah kekakuan yang tidak lagi secara sederhana memperhatikan imaji (dalam imaji-gerak, harmoni masih terjaga dalam skema sensori-motor), melainkan sebuah pikiran atas imaji, pikiran dalam imaji. Sinema tidak bercerita, tetapi mengembangkan sebuah sekuen dari kedudukan spiritual. Imaji dideduksi antara satu dan lainnya, sebagaimana pikiran dideduksi dari pikiran.

IV. Penutup

Tak ada gerak yang tidak menghasilkan imaji; tak ada imaji yang terpisah dari gerak yang dieksekusi.[28]

Sungguh mengherankan, bahwasanya filsafat modern atas imajinasi tidak memperhitungkan sinema; menekankan gerak tetapi tidak menyinggung imaji, atau terpaku pada imaji tapi, tapi tidak menyinggung gerak.[29]

Selanjutnya Deleuze memberi contoh dalam buku yang sama; Sartre dalam ‘Psikologi Imajinasi’ membahas seluruh imaji kecuali imaji sinema dan Merleau-Ponty membahas hanya sedikit yang dikaitkan dengan psikologi (Sense and Non-Sense).

Adalah menyenangkan mendalami sinema dari pemikiran filsafat. Pikiran Deleuze yang baru sedikit saya pahami di atas memberi tantangan baru yang luar biasa. Deleuze mengembangkan teori sinema dari perspektif logika bukan dari perpektif bahasa (linguistik). Hal ini di luar tradisi teori film pada umumnya (Roland Barthes, Christian Metz, Umberto Eco; linguistik-semiotik. Andre Bazin; Realisme empiris dll.). Saya kira memahami pemikiran Deleuze dalam sinema sangat sulit, pembacaan teks-teksnya membutuhkan pemahaman pada dua sisi sekaligus. Satu sisi penguasaan tradisi teori film secara umum, sisi yang lain adalah penguasaan dasar-dasar filsafat dan metafisika. Di sini saya belum dapat memberi tanggapan secara khusus, sebab saya percaya belum seluruhnya pemikiran Deleuze dapat saya cerna. Masih dibutuhkan pembacaan terus-menerus atas seluruh pikiran-pikirannya yang lain. Sebab banyak term yang dia bawa dari pemikiran-pemikiran yang terdahulu yang dikembangkan dalam pemikirannya tentang sinema.

Selebihnya saya berkeyakinan bahwa sinema memiliki daya untuk meng’afirmasi’ kehidupan dan kekuatannya…… ‘We need reason to believe in this world’. [30] Adakah kemungkinannya untuk sinema Indonesia ?

Daftar Pustaka

Bergson, Henry, Matter and Memory, trans. Nancy Margaret Paul And W. Scott Palmer, New York: Zone Book, 1962.
Deleuze Gilles, Cinema 1: Movement-Image, trans. Hugh Tomlinson and Barbara Haberjam,
London: The Athlone Press, 1983.
____________, Cinema 2: Time-Image, trans. Hugh Tomlinson and Robert Galeta. The Athlone Press:
London 1989.
____________, Negotiation: 1972-1990, trans. Martin Joughin,
New York: Columbia Unv. Press, 1990.
____________, Bergsonism, trans. Hugh Tomlinson and Barbara Haberjam,
New York: Zone Book, 1988.
Rodowick, D.N., Deleuze’s Time Machine,
Durham and London: Duke Unv. Press, 1997.

Catatan Kaki

* Penulis adalah mahasiswa STF Driyarkara.

[1] Gilles Deleuze, Negotiations; 1972-1990, “On Movement-Image”, Trans. Martin Joughin,
New York: Columbia Unv. Press, 1990, hlm. 47

[2] Montage disini bukan sekedar
gaya pemotongan (style of cutting), montage mengekspresikan logika komposisi–sebuah konsep atau peregulasian gagasan dalam makna filsafat—yang menginformasikan sistem dari film baik secara global atau secara per bagian. Dalam kaitannya dengan gerak; Montage mengekspresikan perubahan, memberi bentuk atas waktu, baik langsung atau tak langsung. [Lih. Gilles Deleuze, Cinema 1: Movement-Image, trans. Hugh Tomlinson and Barbara Haberjam, London: The Athlone Press, 1983. hlm. 29-30].

[3] Gilles Deleuze, Cinema I: Movement-Image, ... hlm. 2.
[4] Ibid., hlm. 8.
[5] Ibid., hlm. 11.
[6] Ibid., hlm. 57.
[7] Ibid., hlm. 58.
[8] Ibid., hlm. 60
[9] Ibid., hlm. 70.
[10] Ibid., hlm. 141.
[11] Ibid., hlm. 215.
[12] Gilles Deleuze, Time-Image, ... hlm. xii.
[13] Ibid., hlm. 23.

[14] Bandingkan: Antara realitas yang pre-exist (dalam imaji-gerak) dan realitas yang telah terdapat dalam memori-dunia, yang terjaga dalam waktu (imaji-waktu). Yang pertama mengandaikan sebuah relitas yang belum ada, realitas yang seolah-olah, untuk kita percayai sebagaimana adanya, yang kedua menggambarkan sebuah realitas yang ada/pernah ada, terjaga dalam waktu, dalam memori-ada/dunia. Keduanya memiliki kekuatan untuk memaksa kita mengikutinya; mengikuti yang pertama berarti mengikuti kesinambungan rasional yang masih dalam skema sensori-motor, mengikuti yang kedua berarti mengikuti lompatan-lompatan irasional, yang memiliki logikanya sendiri menghancurkan skema sensori-motor.

Kedua hal diatas terjadi salah satunya karena perbedaan perlakuan terhadap kamera. Yang pertama kamera diandaikan – berkecenderungan demikian — tidak ada, kita dipaksa untuk melihat apa yang tersaji adalah realitas apa adanya, dipaksa untuk larut dan tenggelam dalam cerita. Sementara yang kedua selalu menyadarkan bahwa ini hanya film, film tentang realitas yang ada (film bukan realitas itu sendiri). Ini adalah upaya sadar pembuat film dalam menghargai setiap orang, untuk tidak membuat orang larut dalam perasaan melainkan berpikir dan merangkai setiap kejadian dalam pikiran untuk kemudian membawanya pulang sebagai bahan perenungan. (penekanan oleh penulis)

[15] Merupakan percabangan dari Chronosign: tipe imaji dalam imaji-waktu, dimana waktu dibebaskan dan tidak lagi menjadi subordinat gerak.

[16] Gilles Deleuze, Time-Image, .... hlm. 98.

[17] Gilles Deleuze, “Memory as Virtual Coexistence”, dalam Bergsonism, trans. Hugh Tomlinson and Barbara Haberjam,
New York: Zone Book, 1988, hlm. 63.

[18] Ibid.
[19] Ibid., hlm. 99.

[20] Deleuze dalam ‘Memory as Virtual Coexistence’, pada Bergsonism, New York: Zone Book, 1988, hlm. 63-64. Persyaratan ini sekurang-kurangnya menjelaskan kedudukan imaji-rekoleksi dalam sinema modern bahwa tidak semua imaji yang dihasilkannya dapat begitu saja dihubungkan dengan sebuah lembaran dari memori-dunia.


[21] Penggunaan kata regime, sengaja diterjemahkan menjadi rezim, mengingat pengertiannya untuk menjelaskan sebuah wilayah imaji yang memiliki kekuatan untuk ‘memaksa’.

[22] Gilles Deleuze, Time-Image, ... hlm. 126.

[23] Ibid., hlm. 128.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 137.

[26] Menggunakan Bergson, Deleuze membaca CS.Pierce dan mengembangkan semiotika baru untuk membaca tanda-tanda baru yang dihasilkan oleh Imaji-Gerak dan Imaji Waktu. Untuk menjelaskan ini akan membutuhkan tulisan khusus, tentang bagaimana logika tanda dipercabangkan dalam dua tipe semiotika murni; semiotika atas gerak dan semiotika atas waktu.

[27] Gilles Deleuze, Time-Image, ... hlm.172.
[28] Gilles Deleuze, Movement-Image, ... hlm. 59.
[29] Gilles Deleuze, Negotiations: 1972-1990; ‘On Movement-Image’, ...., hlm. 47
[30] Gilles Deleuze, Time-Image, ... hlm. 172.

Tidak ada komentar: